Butir butir embun masih malas berjatuhan didedaunan dari sebuah pohon bambu kuning disamping pondok yang mulai reot dipinggir sungai yang mengering. dinding dinding kayu jati yang sangat tua dan keropos , dua buah tiang pilar penyangga atap teras yang kokoh berdiri namun sudah tidak tampak atap disana, di kanan kirinya pondok masih terlihat sisa sisa bangunan yg kini hanya tersisa tembok kayu yg mulai ditumbuhi belukar menandakan bahwa pondok ini dulu pernah begitu megah berdiri.
Pemandangan serupa terlihat disekitar pondok, sudah tidak ada lagi bangunan yang utuh berdiri, semuanya hampir rata dengan tanah, disana sini penuh dengan abu dan bekas kayu rumah yang hangus terbakar, sungguh pemandangan yang semakin mendirikan bulu kuduk siapapun yg melewatinya.
Dinginnya malam semakin menusuk dan semakin merenggut gelapnya malam purnama penuh saat itu.
Malam yang begitu hening tidak terdengar suara binatang malam satupun seolah olah mereka ketakutan dan bersembunyi dari sesuatu entah apa yang akan terjadi malam itu, daun daun seolah membeku,tidak ada tiupan angin, tidak ada kunang kunang penghias malam seperti hari hari biasanya.
Sementara dibalik pintu pondok yang tertutup rapat terdengar tangisan lirih nan pilu dari seorang wanita. suaranya begitu menyayat hati, air mata menetes deras dari kelopak mata yang terpejam ke pipinya yang putih bersih seakan menahan sebuah beban rasa yang sangat dalam dan berat. Sesekali terdengar ucapan lirih dari bibirnya yang merah merekah, "Maafkan aku, maafkan semuanya...", sambil terus menangis tiada henti.
Jauh didalam lubuk hati dan fikiranya yang paling dalam tergambar sepak terjangnya ketika masih muda dan belia. Begitu jelas diingatannya tiga puluh tahun yang lalu, seorang gadis desa yang lugu akan tetapi sudah tidak memiliki ayah dan ibu, sejak kecil dia sudah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya karena sakit yang diderita mereka. Akhirnya sigadis kecil itu harus berusaha bertahan hidup dengan segala daya upayanya, tidak ada sanak saudara yang dekat saat itu, karena memang dia dari keluarga miskin yang entah kenapa mereka hidup jauh dari pemukiman penduduk.
Sang gadis cilikpun terus berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya dari makanan yang bisa dia cari di hutan di sekitar pondoknya. Baju yang dia pakaipun hanya bekas dari kedua orang tuanya yang telah meninggal dan bahkan dia sendiri yang menguburkan mereka.
Gadis kecil yang malang namun sangat tegar, untuk bertahan hidup dari cuaca , sigadis memilih untuk tinggal didalam gua kecil yang ada disamping pondoknya yang juga sudah runtuh. Disana dia tidur, makan, dan semua kegiatannya ia lakukan sendirian.
Pada suatu malam ketika dia sedang tidur nyenyak dia dibangunkan oleh seorang nenek yang langsung menjulurkan tangannya seraya ingin memberikan sesuatu kepadanya, sambal berkata, “ini adalah jodoh cincinmu”.. Sang gadis kebingungan namun dia tidak bisa menolak pemberian sang nenek, diterimanya benda kecil seperti jarum berwarna merah menyala itu tanpa ragu, dan saat itu juga sang nenek langsung menghilang.
Sigadis sangat terkejut, dia terhenyak dalam ketakutannya, seketika dia berteriak memanggil ibunya, “Ibuuuu…..!!, nafasnya terengah engah, namun dia baru sadar bahwa apa yang dia alami tadi hanyalah mimpi. “Syukurlah tadi hanyalah mimpi…”, gumamnya dalam hati. Diapun duduk dilantai goa yang hangat. Sejenak dia terus mengingat ingat apa gerangan mimpinya tadi, apa maksud ucapan si nenek tadi. Namun betapa kagetnya si gadis ketika dia merasakan ada sebuah benda kecil di genggamannya. Dilihatnya genggaman tangannya sebuah jarim berwarna merah menyala, dipandanginya jarum itu… sambil didekatkan kematanya supaya lebih dekat. “Buat apa gerangan jarum ini…?”, Dia semakin mendekatkan jarum itu ke matanya, namu tiba tiba jarum itu seperti terbang meluncur mengarah ke keningnya dan langsung masuk kedalam kulit keningnya, “Aduh..!”, jeritnya kencang namun hanya sebentar rasa sakit itu sudah hilang kembali.
“Aduh, kenapa ini, kemana tadi jarum itu hilangnya..?”, dia terus mengusap usap keningnya tetapi sama sekali tidak ada bekas luka ataupun goresan sedikitpun.
“Apa mungkin benda tadi hanya angan anganku saja…”, dalam hati dia bertanya Tanya, “Ah sudahlah, yang penting sekarang aku sudah tidak merasakan apapun”. Gumamnya lagi
Perempuan itu duduk bersila di atas ranjang dan beralaskan kain merah. rambutnya yang tergerai halus dan lembut panjang menjuntai hampir menyentuh permukaan ranjang. tubuhnya semampai dan terlihat sangat menawan, telapak tangannya bersedekap di depan dada, telapak tangan kanannya yang putih bersih tampak menutup telapak tangan sebelah kiri, seperti sedang melakukan sebuah ritual. beberapa saat kemudian tubuhnya bergetar hebat, bibirnya seperti merapal mantra, dan beberapa saat kemudian terlihat keningnya yang semula putih bersih kini terlihat ada sinar berwarna merah yang memancar dari tengah tengah keningnya, cahaya itu semakin lama semakin terang.
Masih begitu jelas tergambar diingatkannya betapa dirinya telah membuat para saudagar bertaruh harta untuk meminangnya, para jenaka bertaruh nyawa saling bunuh untuk mendapatkan cintanya, derita para istri yang teraniaya oleh suaminya karena pesonanya, hingga ada yang rela meninggalkan rumah hanya untuk dirinya, ada istri yang meninggal karena ulahnya, perseteruan antar dua desa hingga saling membumi hanguskan keduanya. Semua terjadi karena susuk merah yang telah merubahnya menjadi jelita. Dendam, amarah, fitnah, semua tertuju padanya pada waktu itu.
Sejenak suara rintihannya semakin lirih dan tangannya kini mulai bergerak kearah keningnya seolah mau mengambil sesuatu dari wajahnya. Dan saat tubuhnya mengejang menahan sakit dibagian wajahnya sang perempuan segera menggenggam benda kecil seperti jarum merah menyala yang keluar dari keningnya dan langsung menaruh pada kain hitam bertulis rajah yang ada di pangkuannya dan dengan cepat dibungkusnya benda tadi lalu dimasukkan kedalam kotak Kuningan kecil. Bersamaan selesainya ritual itu, kini tubuh perempuan yang semula terlihat segar, bugar dan cantik berangsur angsur menjadi menua. Dia yang sebelumnya terlihat masih berusia belia kini berubah menjadi seorang wanita yang mulai renta, tampak kerut pipi dan wajahnya seakan berbanding terbalik dengan kondisi sebelumnya kulit tubuhnya yang putih bersih dan kencang kini mulai terlihat tampak keriput. namun dibalik semua itu kini wajahnya menampakkan perasaan lega, senyum bahagia tampak menghias seolah ada sebuah beban berat yang sudah bisa dia lepas dan selesaikan.
Bersamaan dengan itu diluar pondok yang semula terasa hening kini berangsur angsur udara terasa segar kembali, angin sepoi sepoi bertiup membawa pesan kedamaian keseluruh lembah, butiran embun mulai menetes melepas kebekuannya, binatang binatang malam seakan bergembira bersaut sautan seolah ingin memiliki malam itu untuk selamanya. Sedangkan sang perempuan merebahkan diri di ranjang dengan tentramnya.
Bersambung ....